Gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan yang masih bisa dikenali hingga saat ini. Pada zamannya, selain merupakan mainan gasing juga digunakan untuk berjudi dan meramal nasib.
Gerakan gasing berdasarkan efek giroskopik. Gasing biasanya berputar terhuyung-huyung untuk beberapa saat, hingga ada interaksi pada bagian kaki atau paksi dengan permukaan tanah yang kemudian membuatnya tegak. Setelah gasing berputar tegak, untuk sementara waktu, momentum sudut dan efek giroskopik berkurang sedikit demi sedikit, hingga akhirnya bagian badan terjatuh secara kasar ke permukaan tanah.
Gasing sendiri dikenal luas di seluruh pelosok Nusantara. Semua daerah yang ada di wilayah kepulauan umumnya memiliki permainan ini. Itulah sebabnya, bangsa Indonesia yang multietnik, terdiri dari berbagai suku bangsa, mengenal berbagi jenis permainan gasing.
Namun, sejauh ini, dari daerah mana asal permainan ini dan penyebarannya di wilayah nusantara, belum diketahui secara pasti. Data sejarah berupa naskah-naskah kuno maupun data arkeologi, baik artefak maupun non artefak tentang permainan ini belum ditemukan. Karenanya sulit untuk mengungkap sejarah dan penyebaran permainan gasing di wilayah nusantara secara pasti.
Menurut informasi dari penggemar permainan ini, permainan gasing di wilayah Pulau Tujuh kini Kabupaten Natuna, telah ada sejak jaman penjajah Belanda. Bahkan diperkirakan jauh sebelum masa itu permainan gasing, telah ada.
Di Natuna, permainan gasing biasanya dipertandingan layaknya lomba yang dalam bahasa setempat disebut pangkak yang berarti adu. Adu gasing sendiri sering diadakan pada saat pelaksanaan Even Natuna Art Festival.
“Kegiatan adu gasing rutin dilaksanakan di Kabupaten Natuna pada peringatan hari jadi Kabupaten Natuna yakni bulan Oktober,” tutur Ilyas Sabli, yang juga menjabat sebagai ketua Gasing Natuna.
Ilyas yang memang memiliki club gasing memang terlihat piawai memainkan gasing. Sekali lemparan, gasingnya berputar cepat dan berlagak seolah sedang menantang gasing lainnya untuk beradu di arena pertandingan.
Benar saja, tidak lama berselang, seorang pemain gasing lainnya, meladeni tantangan Ilyas. Lalu, sekali pukul, gasing lawan itu pun langsung menukik pada kepala gasing milik Ilyas. Ini menyebabkan putaran gasing tersulut ke pinggir arena.
Ungkap Ilyas, dalam memainkan gasing, selain dituntut kreatif juga harus memiliki strategi, kekuatan (tenaga), kebersamaan, kejujuran dan lainnya. Ini semua merupakan nilai-nilai kearifan serta nilai-nilai tradisi yang merupakan benteng budaya.
“Permainan tradisional ini tidak bisa dipandang hanya sebagai salah satu bentuk permainan semata. Banyak nilai-nilai filosofis dan kearifan lokal yang tertanam dalam permainan ini sebagai benteng budaya,” terangnya.
Lanjutnya, sebagai benteng ketahanan budaya, permainan tradisional ini masih cukup diminati. Terutama oleh kelompok-kelompok orang yang masih ingin mengenang masa lalunya.
Ilyas mengatakan, sejatinya permainan tradisi atau lebih dikenal dengan permainan rakyat merupakan sebuah kegiatan rekreatif yang tidak hanya bertujuan untuk menghibur diri, tetapi juga sebagai alat untuk memelihara hubungan dan kenyamanan sosial.
Dijelaskan di Natuna Utara, gasing mulai dikenal sejak 1940-an. Saat itu, Belanda telah berkedudukan di Natuna. Permainan gasing dilakukan anak-anak dan orang dewasa, di pekarangan rumah yang kondisi tanahnya keras dan datar.
Permainan gasing sendiri dapat dilakukan secara perorangan ataupun beregu dengan jumlah pemain yang bervariasi. Hal ini biasanya disesuaikan dengan kebiasaan daerah masing-masing.
Namun sebelum pertandingan berlangsung, biasanya para petanding pergi beramu, mencari kayu untuk membuat gasing kehutan. Kayu yang biasa di pakai untuk membuat gasing adalah kayu Pelawan, kayu Gemeris dan kayu Mentigi. Dan bagian kayu yang dipilih adalah bagian tengah dari kayu tersebut dengan pertimbangan lebih kuat.
Selanjutnya, kayu dipotong dengan ukuran panjang sekitar 20-30 cm. Potongan ini kemudian dijadikan balan, dan dilarik atau dibubut dengan menggunakan alat manual, yang disebut perindu. Dari sepotong kayu ukuran 20-30 cm itu bisa jadi 2-3 buah gasing jenis tandin, nahan maupun pangkak.
Proses pertandingan pun dimulai dengan memutar gasing tandin yang menggunakan bantuan tiang amban atau tiang untuk lempar gasing tendin. Sampai di tanah, gasing tersebut langsung disekop dengan menggunakan bahan kayu atau triplek tipis, untuk kemudian diletakkan di atas kaca.
Inilah saatnya bertanding, sampai akhirnya tersisa sebuah gasing yang terus berputar agak lama. Penilaian dilakukan dengan melihat gasing yang mati lebih awal yang dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Pihak yang kalah dihukum dengan memutar gasing nahan untuk dipangkak oleh pemenang tandin
Sementara itu, Wakil Ketua Persatuan Gasing Indonesia (Pergasi) Provinsi Kepulauan Riau, H.Asmui Bakar, menambahkan bahwa permainan gasing kini mulai memasuki babak baru. Hal ini diawali dengan workshop dan festival gasing nusantara yang diadakan di Jakarta 26-28 Agustus 2005 lalu.
Pada kegiatan yang diprakarsai Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, para peserta diyakinkan bahwa gasing Natuna, Kepulauan Riau layak diusulkan menjadi olahraga prestasi. Selanjutnya, pada workshop tentang Peraturan dan Tatatertib permainan gasing Jantung dan gasing Berempang, 2-4 September 2006 di Tanjungpinang, akhirnya disepakati oleh peserta dari daerah seluruh Indonesia, bahwa gasing Natuna diberi nama gasing Berembang.
“Sebagai tindaklanjut, pada 27-29 Juli 2007 dilaksanakan uji petik peraturan permainan gasing tingkat nasional di Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung. Karena itu, besar harapan agar permainan tradisional ini dapat tumbuh dan berkembang bagi generasi muda,” pungkasnya penuh harapan.